Budaya Malu Orang Jepang

Jepang lagi, ya karena terus terang aku sangat nge FANS dengan negeri matahari terbit ini meskipun Jepang adalah negara yang pernah menjajah negara kita membuat sengsara kehidupan pendahulu kita namun dengan tanggung jawab yang sudah diberikan kepada negeri ini sebagai wujud dari rasa bersalah atas tindakan penjajahan yang pernah dilakukan di Indonesia pada masa PD II, dan banyak sekali hal – hal positif  yang bisa kita ambil dari negeri yang berbudaya ini yang salah satunya “Budaya Malu”. Benar kata proklamator kita Ir. Soekarno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya” lihat betapa besar (secara ekonomi dan teknologi) Jepang saat ini.

Budaya malu, Ya siapa yang tidak tahu beberapa pejabat penting di Jepang mengundurkan diri dari jabatan prestisius tersebut karena hal – hal sepele (bagi kita orang Indonesia) seperti salah ngomong, tidak sengaja korupsi yang jika di kurs dalam rupiah tidak lebih dari Rp. 3 juta, menerima hadiah ulang tahun dari rakyatnya…..haaaaaaahhhhhhhh sepele kan hanya karena hal – hal sangat sepele, tapi karena besarnya rasa malu dan karena sudah mendarah dagingnya budaya malu.

Di Jepang ada “budaya malu” sehingga pejabat yang merasa malu mundur. Di Indonesia “budaya tak tahu malu” jadi meskipun sudah memalukan dan sampai dipaksa mundur tetap saja gak punya malu dan tidak mau mundur dari jabatanya, yang ada malah saling tuding dan lempar tanggung jawab. Itulah bedanya, antara apa yang terjadi di Jepang dengan apa yang terjadi di negeri ini.

Di tingkat birokrasi, dikisahkan Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah Maehara terbukti menerima donasi dari warga Korea Selatan yang bermukim di Tokyo yang total nilai donasinya hanya 250.000 Yen (sekitar Rp 25 juta). Padahal, uang tersebut tidak sepeserpun digunakan untuk pribadi Maehara, namun sebagai dana sumbangan partai politiknya, atau Partai Demokrat Jepang (DPJ). Entah dikarenakan tidak tahu atau kurang teliti, tenyata pemberian itu melanggar UU Partai Politik di Jepang yang tidak boleh menerima sumbangan dari bukan warga negara. Meski jumlahnya tidak besar, hanya Rp 25 juta, Maehara tetap dianggap melanggar. Karena berbuat lalai dan salah, maka dengan jiwa ksatria pun beliau (Seiji Maehara/Menlu Jepang) akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
sumber :[1]http://video.vivanews.com

Di satu sisi, mundur adalah wujud pertanggungjawaban dan moral. Namun di sisi lain, pengunduran diri ternyata berulang kali terjadi di Jepang, Sebelum Maehara, Menteri Kehakiman Yanagida mengundurkan diri bulan November 2010 karena merasa bersalah atas komentarnya yang tidak pantas di Parlemen. Bulan Juni 2010, Menteri Jasa Keuangan Kamei mundur akibat proses parlemen yang menurutnya tidak masuk akal. Di tahun 2009, ada sekitar 4 orang menteri yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, ataupun tidak sanggup memenuhi janji politiknya. Berulangkalinya pejabat Jepang mundur ini mengakibatkan ongkos politik menjadi begitu mahal dan Jepang terus terbelit dalam masalah ekonomi yang tidak kunjung usai. Fenomena mundur dalam jabatan bukanlah sebuah hal yang asing dan tabu.

Untuk kali pertama setelah mundur pada 26 Agustus lalu, mantan Perdana Menteri (PM) Jepang Naoto Kan menyuarakan ketakutannya terhadap krisis nuklir yang belum kunjung berakhir hingga kini. Politikus 64 tahun itu khawatir ibu kota Jepang akan berubah menjadi kawasan yang tidak bisa dihuni manusia lagi.

“Bayangan bahwa Tokyo akan berubah menjadi kota kosong tanpa seorang penduduk sempat melintas dalam benak saya,” ungkapnya dalam wawancara khusus dengan surat kabar Tokyo Shimbun kemarin (6/9). Apalagi, begitu krisis nuklir di PLTN Fukushima Daiichi kian memburuk, pemerintah Jepang tak punya cukup sarana dan prasarana untuk segera mengosongkan ibu kota.

Menurut Kan, mustahil mengevakuasi seluruh penduduk Tokyo dan Kanto dengan sekaligus. Instruksi pemerintah untuk mengosongkan zona sekitar 20 kilometer di sekitar PLTN yang dikelola TEPCO itu juga tak bisa dilaksanakan dalam satu langkah. Ketika itu, pemerintah menerapkan serangkaian tahapan sebelum akhirnya mengosongkan zona 20 kilometer di sekitar PLTN.

Seiring dengan terus memburuknya krisis nuklir dan tersendatnya rekonstruksi pasca-gempa dan tsunami, Kan mengaku selalu dihantui mimpi buruk. Apalagi, masyarakat menilai pemerintahannya terlalu lamban dalam mengatasi bencana alam pada 11 Maret lalu itu. Hingga kini, setelah Kan tak menjabat, proses rekonstruksi masih berlangsung dan krisis nuklir belum kunjung mereda.

Status krisis nuklir Fukushima yang disamakan dengan bencana nuklir Chernobyl membuat Kan terpaksa mundur. Sebelum mundur itu pula, dia sempat mendeklarasikan keinginannya untuk tidak lagi menggunakan nuklir sebagai sumber energi di Jepang. Dia mengimbau seluruh jajaran pemerintahan untuk mengeksplorasi jenis energi baru yang bisa diperbarui.

“Sebelumnya, saya yakin bahwa reaktor di Jepang aman karena didukung teknologi mutakhir. Tetapi, bencana 11 Maret mengubah seluruh pendapat saya itu,” terangnya.

Kan juga mengaku ngeri membayangkan makin luasnya zona steril di sekitar PLTN. Jika zona steril meluas, dia yakin bahwa status Jepang sebagai negara terancam hilang. “Mengevakuasi 30 juta orang bukanlah perkara mudah. Bahkan, hal itu mustahil dilakukan. Jika itu sampai terjadi, Jepang tidak akan mampu bertahan lagi sebagai negara,” ramalnya. Apalagi, jarak PLTN Fukushima dengan Tokyo hanya sekitar 250 kilometer. Tanpa dukungan wilayah di sekitarnya, Tokyo tak akan mampu bertahan sebagai pusat pemerintahan.

Sementara itu, korban badai tropis Talas di Jepang terus bertambah. Kemarin, tak kurang dari 46 orang dilaporkan tewas akibat taifun yang mengamuk di barat Negeri Sakura tersebut. Sekitar 50 lainnya dilaporkan hilang. Sejauh ini, ribuan warga masih harus bertahan di tempat penampungan sementara karena permukiman mereka hancur.

PM Yoshihiko Noda dijadwalkan melawat ke lokasi bencana kemarin. Untuk sementara, kebutuhan makan dan minum pengungsi mengandalkan bantuan dari pemerintah setempat. “Setelah mendistribusikan 1.000 liter air minum dengan helikopter Senin lalu (5/9), kini kami berencana membagikan beras, mi instant, dan lebih banyak minuman lagi,” kata jubir pemerintah.
( sumber ; http://www.jpnn.com

Kabinet Perdana Menteri Yoshihiko Noda yang baru berusia dua pekan diguncang mundurnya Menteri Ekonomi, Perdagangan , dan Industri Yoshio Hachiro, Sabtu (10/09). Yoshio menuai protes masyarakat karena ucapannya dinilai menyinggung masyarakat dan dianggap tidak mempunyai kepekaan terhadap apa yang dirasakan rakyat Jepang. Karena malu, Yoshio mundur.

Ucapan Yoshio yang menyinggung masyarakat itu terjadi ketika ia mengunjungi daerah di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima yang rusak akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret lalu. Ia menyebut Fukushima sebagai “kota mati”. Ia juga dilaporkan menggosokan jaketnya kepada wartawan, seakan ingin menunjukkan adanya suatu penularan radiasi kepada para wartawan itu. (Kompas Minggu, 11-09-2011)

Perdana Menteri Naoto Kan, juga mengundurkan diri karena malu. Perdana Menteri Kan dikecam karena dinilai lamban dalam menangani bencana alam ganda di wilayah Fukusihima yang menelan lebih 20 ribu jiwa itu. Karena malu dianggap tidak mampu mengatasi masalah, Kan pun mundur.

Ini hanya kisah undur diri yang kesekian kali yang terjadi di Jepang, sebab sudah banyak kisah pejabat yang mengundurkan diri sebelumnya. Penyebabnya selalu sama karna merasa gagal atau tidak mampu, atau pun kesandung kasus-kasus yang dianggap memalukan. Mungkin saja “budaya malu” di Jepang ini terjadi sebagai warisan dari tradisi “harakiri” jaman dulu. Ketika kalah dalam peperangan orang Jepang akan melakukan bunuh diri “harakiri”, yaitu dengan menusuk perutnya sendiri. Mereka merasa lebih baik mati dari pada harus menanggung malu.

Saya lalu membandingkan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mengundurkan diri dari jabatan merupakan sesuatu yang sangat langka, padahal tidak sedikit para pejabat yang ditengarai tidak memberikan prestasi yang jelas dalam kerjanya. Menteri Perhubungan yang dikecam bertubi-tubi karena banyak pesawat yang landingnya anjlok di persawahan atau di tercebur di lautan, kereta api yang saling berciuman, juga tak pernah terdengar ada ceritanya mundur. Pejabat yang korupsi atau ketahuan teribat kasus-kasus yang memalukan juga tak mengenal istilah mundur. Meskipun sudah banyak indikasi pejabat yang berbuat “memalukan”, tapi mundur justru dianggap sesuatu yang memalukan.

Bila ada seorang pejabat apes dan kepergok berbuat yang memalukan dan menyatakan mundur, justru akan segera dihakimi sebagai seorang yang hanya ingin membuat sensasi. Mundur dari jabatan juga sering dianggap sebagai lari dari tanggung jawab, pokoknya ada saja alasan untuk mencari pembenaran.

Segelintir pejabat yang pernah undur diri dari jabatan, alasannya bukan karena menyadari bahwa dirinya tidak mampu atau malu-maluin. Alasan undur diri itu lebih karena adanya konflik kepentingan dengan atasan sehingga tidak merasa nyaman lagi, semacam bentuk protes dan ngambek kepada atasannya. Undur diri itu sifatnya hanya sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan dan ketidakpuasan, bukannya atas kesadaran bahwa dirinya tidak mampu ataupun telah berbuat sesuatu yang memalukan.

Pembenaran-pembenaran itu mungkin juga yang menyebabkan maraknya praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang terjadi di negeri ini. Di sini memang yang ada baru “budaya tak tahu malu” dan belum “budaya malu” semacam yang ada di Jepang.

yah…itulah sedikit budaya bangsa besar tersebut, semoga negeri ini bisa mencontoh hal – hal positif dari Jepang

dari berbagai sumber

Leave a comment